Di bawah kepemimpinan Ketua Umum baru, Ateng Wahyudi, PERSIB
berusaha melupakan kegagalan di kompetisi sebelumnya dan bersiap untuk
menghadapi Kompetisi Perserikatan 1985/1986. Pada Kompetisi kali ini PERSIB
lagi-lagi lolos ke babak Grandfinal, meskipun sebelumnya jalannya tidak
mulus serta tergolong sangat dramatis dan menegangkan. Pasalnya,
setelah hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan PSM Makassar pada
laga pembuka babak “6 Besar”, PERSIB dibekap Persija Jakarta 2-3. Meski kemudian menang 2-1 dari PSIS Semarang, PERSIB kembali bermain imbang 0-0 dengan PSMS pada laga keempat.
Hasil sekali menang, 2 imbang, dan sekali kalah itu membuat posisi Adeng Hudaya dan kawan-kawan terjepit. Banyak orang mengira, PERSIB
bakal gagal lolos ke grandfinal karena lawan terakhir yang harus
dihadapi adalah Perseman, tim yang berhasil melakukan aksi sapu bersih
dalam empat laga sebelumnya. Orang menyangka, Perseman akan tampil di
grandfinal bersama Persija atau PSMS.
Tapi,
ketika banyak orang berpikir seperti itu, sebuah “keajaiban” terjadi.
Lantaran insiden kericuhan yang terjadi pada saat mereka bertemu Persija
pada laga pembuka babak “6 Besar”, Perseman yang sudah mengantongi satu
tiket ke grandfinal lebih memilih PERSIB sebagai calon lawannya di final. “Permainan tingkat tinggi” pun terjadi pada laga terakhirnya, 6 Maret 1986, PERSIB
“menghajar” Perseman 6-0 lewat sumbangan gol Bambang Sukowiyono menit
ke-10, Suhendar (15 dan 51), Dede Rosadi (25), Iwan Sunarya (30), dan
penalti Djadjang Nurdjaman menit ke-72.
Dengan mengumpulkan nilai 6, plus selisih gol 10-4, PERSIB
sebenarnya bisa tetap gagal bila pada hari berikutnya, Persija bisa
mengalahkan PSIS lebih dari empat gol dan PSMS bisa menang lebih besar
dari PERSIB saat menghadapi PSM. Tapi, nasib berpihak ke PERSIB. Pada laga terakhirnya, Persija “hanya” menang 3-0 dari PSIS dan PSMS dibekap PSM 0-1.
Maka, PERSIB
pun melenggang ke partai puncak pada Selasa, 11 Maret 1986. Di dalam
partai “sungguhan” dengan Perseman itu, duet pelatih Nandar Iskandar -
Max Timisela menurunkan formasi andalannya, 4-3-3, dengan materi pemain
Sobur (kiper), Adeng Hudaya, Robby Darwis, Suryamin, Ade Mulyono
(belakang); Adjat Sudrajat, Bambang Sukowiyono, Iwan Sunarya (tengah);
Suhendar, Dede Rosadi/Wawan Karnawan, dan Djadjang Nurdjaman (depan).
Bobotoh
yang menyaksikan langsung ke stadion tentu saja tegang. Masih belum
habis trauma mereka ketika 2 musim berturut-turut sebelumnya PERSIB selalu gagal di partai final, mereka tidak ingin tahun ini PERSIB kembali
pulang tanpa gelar. Sementara jutaan bobotoh yang berada di rumah
menyaksikan lewat layar kaca TVRI, stasiun TV satu-satunya saat itu.
Karena ingin puas, banyak bobotoh yang memasang sekaligus antara TV
dengan radio. Gambar dari TV, suara dari Radio! Jalannya pertandingan di
RRI saat itu dipandu oleh penyiar Bung Sambas, yang waktu itu sangat
populer karena suara dan gayanya saat menyiarkan siaran langsung PERSIB
lewat udara. Kabar unik lain yang kami dengar tentang pertandingan ini
adalah ketika mesjid-mesjid dibeberapa daerah di Kota Bandung (mungkin
juga terjadi di kota Jawa Barat lainnya), sebelum pertandingan dimulai,
mengingatkan kepada warganya melalui pengeras suara agar berdoa untuk
kemenangan PERSIB. Sebuah fenomena langka yang mungkin hanya terjadi di klub kesayangan kita ini.
“Nista, maja, utama”. Itulah kalimat yang terucap dari mulut H. Ateng Wahyudi, sang Ketua Umum, begitu PERSIB akan tampil di di partai puncak itu. Setelah bertempur habis-habisan dengan bintang-bintang Perseman macam Adolf Kabo, Willem Mara, Yonas Sawor dan Eli Rumaropen, PERSIB dengan permainan cantik, indah dan bersih akhirnya bisa mengalahkan “dewa penolongnya” . Pada menit ke-77, Djadjang Nurdjaman yang baru “pulang kampung” dari Mercu Buana Medan berhasil mengoyakan jala lawan, 1-0 untuk PERSIB dan berhak memboyong Piala Presiden ke Kota Bandung.
“Nista, maja, utama”. Itulah kalimat yang terucap dari mulut H. Ateng Wahyudi, sang Ketua Umum, begitu PERSIB akan tampil di di partai puncak itu. Setelah bertempur habis-habisan dengan bintang-bintang Perseman macam Adolf Kabo, Willem Mara, Yonas Sawor dan Eli Rumaropen, PERSIB dengan permainan cantik, indah dan bersih akhirnya bisa mengalahkan “dewa penolongnya” . Pada menit ke-77, Djadjang Nurdjaman yang baru “pulang kampung” dari Mercu Buana Medan berhasil mengoyakan jala lawan, 1-0 untuk PERSIB dan berhak memboyong Piala Presiden ke Kota Bandung.
Usai
pertandingan, Stadion Utama Senayan “meledak” oleh histeria puluhan
ribu bobotoh yang merangsek ke tengah lapangan. Mereka larut bersama
dalam kegembiraan bersama pemain, pelatih, dan ofisial PERSIB yang tengah melakukan victory lap.
Di tengah ingar-bingar kegembiraan itu, Wali Kota Bandung sekaligus Ketua Umum PERSIB, Ateng Wahyudi juga larut dalam pesta kemenangan. “Kepahitan, kepedihan, dan kecapaian hati, hari ini terobati sudah”, komentar Ateng Wahyudi. Ia tak mampu menahan haru. Gerakannya tampak lunglai dipapah manajer tim PERSIB, Sukandar, B.E., mantan Ketua Umum PERSIB
dan Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ir.
Soehoed yang juga turut membahanakan kemenangan sambil menyalami para
pemainnya.
Berkat keberhasilannya mengakhiri masa penantian selama 25 tahun itulah, di kemudian hari, muncul sebutan PERSIB ‘86 untuk seluruh anggota skuad Nandar Iskandar ini.
Materi pemain yang mengantarkan PERSIB
menjadi juara pada tahun 1986 itu tidak lain “generasi emas” hasil
binaan sejak awal dekade ‘80-an. Mereka adalah Sobur, Boyke Adam, Wawan
Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang
Mulyana, Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Adjid
Hermawan, Adjat Sudrajat, Yana Rodiana, Sam Triawan, Iwan Sunarya, Dede
Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Sukowiyono, Suhendar, Kosasih, dan Djafar
Sidik.
Pengakuan atas hasil “peninggalan” Marek Janota kemudian kembali mencuat. “Marek
memang tidak sempat mendampingi kami saat kembali ke Divisi Utama dan
bahkan ketika merebut Piala Presiden 1986. Tapi, harus diakui, sukses
kami ini tidak lepas dari sentuhan Marek. Karena dialah yang membentuk
dan membidani permainan sepak bola kami sebelum karyanya diteruskan
pelatih lain", ungkap Adjat Sudradjat.
Saat
Marek masih melatih, ia selalu menerapkan disiplin tinggi kepada para
pemainnya termasuk perihal peningkatan fisik. Tak heran, sekalipun Marek
sudah tidak ada, pemain PERSIB saat itu tetap memperhatikan
kebugaran. Beberapa pemain terkadang datang dan pergi ke Mes Puscadnas
di jalan Jawa dengan cara lari, diantaranya yang melakukan kegiatan
rutin itu adalah Dede Iskandar (rumahnya di Sukajadi), dan Ade Mulyono
(rumahnya di daerah Lembang). Oleh sebab itulah, selain skillnya
rata-rata istimewa, pemain saat itu jarang sekali kehabisan nafas di
tengah pertandingan.
Mulai dari masa Kompetisi itulah reputasi PERSIB sebagai
salah satu kekuatan sepakbola nasional mulai dibangun kembali.
Nama-nama seperti Adeng Hudaya, Adjat Sudradjat, Dede Iskandar, Djadjang
Nurdjaman, dan Robby Darwis mulai dilirik untuk memperkuat tim
Nasional. Pada tahun ini adalah tahun dimana Robby Darwis yang oleh
bobotoh dijuluki “Si Bima” karena posturnya yang tinggi besar, untuk
pertama kalinya dipanggil masuk tim Nasional untuk berlaga di Asian
Games 1986. Nama Robby mulai berkibar. Dalam sepuluh tahun kemudian,
Robby Darwis selalu menjadi langganan timnas.
Setelah PERSIB
menjuarai Kompetisi Divisi Utama 1985-1986, dibuatlah Patung Sepakbola
karya seniman besar I Nyoman Nuarta, di pertigaan jalan Lembong,
Bandung. Patung yang tidak diberi nama itu kemudian oleh masyarakat
dikenal dengan sebutan “Patung Adjat”, karena popularitas Adjat
Sudradjat saat itu tengah menanjak.
Berkaca pada kesalahan beberapa tahun yang silam karena terlambat melakukan regenerasi, akhirnya PERSIB pun mulai serius membina pemain muda. Tim PERSIB junior diturunkan di ajang Piala Haornas I, hasilnya tim Pangeran Biru Muda itu melengkapi prestasi gemilang seniornya di tahun ini. PERSIB mencatat sejarah baru, menjadi juara PIala Haornas yang baru pertama kali digelar. Pemain muda yang diturunkan memang tidak seluruhnya produk PERSIB, sebagian diambil dari PSB Bogor, PSIT Cirebon, Persitas Tasikmalaya dan Persika Karawang. Tapi mayoritas memang dari PERSIB. Dari nama-nama yang turun di ajang itu terdapat nama Asep Soemantri, pemain yang kelak akan menjadi tulang punggung PERSIB selanjutnya.
Menghadapi musim berikutnya yang akan digelar bulan Oktober tahun ini juga, praktis itu berarti hanya tiga bulan, waktu untuk PERSIB mempersiapkan tim. Datangnya musim baru lebih cepat karena PSSI sudah memutuskan, pelaksanaan Kompetisi Perserikatan berubah dari even dua tahunan menjadi agenda tahunan.
Pengurus PERSIB segera mempersiapkan komposisi tim dan harus rela melupakan euforia juara yang masih melekat di semua elemen. PERSIB tidak banyak merombak susunan tim, dari mulai ofisial hingga pemain. Pelatih Nandar Iskandar yang sudah menangani tim sejak tahun 1984, kembali dipercaya untuk melanjutkan tugasnya. Dari jajaran pemain, kecuali Uut Kuswendi, Dadang Kurnia, Yuli Suratno dan Yusuf Supamena praktis tidak ada muka baru dalam skuad "Pangeran Biru". Dengan target mempertahankan mahkota, mayoritas pemain yang ikut mengantarkan PERSIB juara dipertahankan dan tentunya ditambah dengan beberapa pemain baru.
Selepas menjuarai kompetisi Perserikatan 1985/1986, PERSIB
kemudian ditunjuk untuk mewakili Indonesia ke Piala Hasanal Bolkiah
(Piala Pesta Sukan II) di Brunei Darussalam pada bulan Juli 1986. Saat
itu Adeng Hudaya tidak dapat memperkuat PERSIB di kejuaraan
tersebut karena sedang menjadi bagian dari tim nasional Indonesia A yang
berlatih di Brasil. Karena “kehilangan” pemain andalannya tersebut,
kemudian PERSIB memanggil dua pemain asal Bandung (Jawa Barat)
yang memperkuat klub lain, yaitu Heri Kiswanto (Krama Yudha Tiga Berlian
Palembang) dan Yusuf Bachtiar (Perkesa ‘78 Sidoardjo). Dalam gelaran
tersebut, PERSIB berhasil mengharumkan nama negara dengan keluar
sebagai Juara setelah di final mengalahkan Malaysia 1-0 melalui gol
semata wayang dari Yusuf Bachtiar.
Berkaca pada kesalahan beberapa tahun yang silam karena terlambat melakukan regenerasi, akhirnya PERSIB pun mulai serius membina pemain muda. Tim PERSIB junior diturunkan di ajang Piala Haornas I, hasilnya tim Pangeran Biru Muda itu melengkapi prestasi gemilang seniornya di tahun ini. PERSIB mencatat sejarah baru, menjadi juara PIala Haornas yang baru pertama kali digelar. Pemain muda yang diturunkan memang tidak seluruhnya produk PERSIB, sebagian diambil dari PSB Bogor, PSIT Cirebon, Persitas Tasikmalaya dan Persika Karawang. Tapi mayoritas memang dari PERSIB. Dari nama-nama yang turun di ajang itu terdapat nama Asep Soemantri, pemain yang kelak akan menjadi tulang punggung PERSIB selanjutnya.
Berbagai prestasi yang diraih di tahun ini tidak diakui atau tidak, menimbulkan perubahan sikap, perilaku, bahkan mental pada sebagian besar para pemain PERSIB. Euforia juara yang sudah lama tidak dirasakan PERSIB, setidaknya memunculkan kebanggaan berlebihan. Sikap inilah yang ingin dibuang jauh-jauh dari kubu PERSIB.
Menghadapi musim berikutnya yang akan digelar bulan Oktober tahun ini juga, praktis itu berarti hanya tiga bulan, waktu untuk PERSIB mempersiapkan tim. Datangnya musim baru lebih cepat karena PSSI sudah memutuskan, pelaksanaan Kompetisi Perserikatan berubah dari even dua tahunan menjadi agenda tahunan.
Pengurus PERSIB segera mempersiapkan komposisi tim dan harus rela melupakan euforia juara yang masih melekat di semua elemen. PERSIB tidak banyak merombak susunan tim, dari mulai ofisial hingga pemain. Pelatih Nandar Iskandar yang sudah menangani tim sejak tahun 1984, kembali dipercaya untuk melanjutkan tugasnya. Dari jajaran pemain, kecuali Uut Kuswendi, Dadang Kurnia, Yuli Suratno dan Yusuf Supamena praktis tidak ada muka baru dalam skuad "Pangeran Biru". Dengan target mempertahankan mahkota, mayoritas pemain yang ikut mengantarkan PERSIB juara dipertahankan dan tentunya ditambah dengan beberapa pemain baru.
Dalam rangka persiapan akhir menuju Divisi Utama Perserikatan, PERSIB mengadakan
uji coba internasional pada Oktober 1986 untuk memantapkan komposisi
tim. Kali itu lawan yang dihadapi adalah FC IQ dari Belanda. PERSIB
yang lebih percaya diri usai menjuarai turnamen Internasional di Brunei
mampu mengalahkan tamunya dengan skor telak 4-0 di Stadion Siliwangi.
Keempat gol PERSIB dicetak Dadang Kurnia, Iwan Sunarya, dan Djadjang Nurdjaman.
Kompetisi baru dimulai lagi, sebagai juara bertahan PERSIB
melangkah ke medan perang dengan penuh keyakinan. Dalam dua babak
reguler penyisihan Wilayah Barat, dua rival utamanya, PSMS Medan dan
Persija Jakarta dilangkahi untuk memastikan satu tiket ke babak "6
Besar". Dari 10 laga yang dimainkan, PERSIB mencatat rekor 6 kali menang, 3 seri, dan sekali kalah. Dari Wilayah Barat, PERSIB lolos bersama PSMS dan Persija.
sumber : http://www.persibhistory.com/2011/07/perserikatan-1986.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar